Rabu, 07 Maret 2012

Akulturasi Budaya Sunda-Tionghoa

Setiap orang mungkin saja memaknai Imlek dengan berbeda, tapi bagi Sastrawan dan Budayawan Sunda keturunan Tionghoa, Drs. Soeria Disastra, tahun baru Imlek dipenuhi harapan untuk mendapat kehidupan yang aman, bahagia, dan mudah rezeki. Biasanya, Imlek juga dirayakan dengan berbagai kebudayaan Tionghoa seperti Barongsai, lentera merah, dan petasan. Memang, kebudayaan Tionghoa tak hanya terlihat saat perayaan Imlek. Dalam kehidupan sehari-hari, meja makan kita terasa tak lengkap tanpa teufu (tahu), yang notabene dari Tionghoa. Sebenarnya pembauran kebudayaan Tionghoa dengan kebudayaan Sunda sudah terjadi di Bandung sejak lama. Hal tersebut diakui Soeria Disastra saat ditemui di kediamannya, Sabtu (2/2) pagi. Ia mengatakan, warga Tionghoa yang lahir dan besar di Bandung pada umumnya memiliki dua bahasa ibu, yaitu bahasa dialek Tionghoa dan bahasa Sunda. “Kebudayaan Sunda dan Tionghoa saling mempengaruhi,” kata pria yang fasih berbahasa Sunda ini. Banyak unsur-unsur kebudayaan Sunda yang ada dalam kebudayaan Tionghoa, begitupun sebaliknya. Dalam kehidupan sehari-hari, contoh pembauran budaya Sunda ke dalam budaya Tionghoa misalnya saja penggunaan kain khas orang Sunda, samping atau sinjang, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat keturunan Tionghoa. Padahal di Tiongkok sendiri tidak ada samping. Ada pula tradisi menebar bunga rampe di malam Jumat yang ada dalam tradisi Sunda, kini sudah menjadi kepercayaan bagi beberapa orang Tionghoa yang tinggal di Bandung. Konon, mereka percaya dengan menebar bunga rampe maka rejeki bakal lebih mudah datang. Sedangkan pembauran budaya Tionghoa ke dalam budaya Sunda dapat dilihat dari berbagai makanan atau masakan seperti capcay, somay atau siomay, dan lain-lain yang asli dari Tiongkok tapi disukai orang Sunda. Contoh lainnya, di Cirebon pernah ada acara kesenian Sunda yang menggunakan alat musik dari Tionghoa. Selain itu, dalam hal kesenian, banyak idiom gerak, warna, kostum, dan instrumen kesenian Mandarin yang diadaptasi dan menjadi bentuk kesenian Sunda, terutama di pesisir. Topeng Banjet, Gambang Kromong, Topeng Cisalak, silat (maen po), dan sebagainya sarat dengan warna Mandarin. *** Pengaruh kebudayaan Tionghoa pada masyarakat Sunda pada mulanya tumbuh melalui hubungan dagang. Namun hubungan tersebut beberapa kali mengalami pasang surut, terutama pada zaman Belanda. Pada masa itu posisi orang Tionghoa berada di tengah antara orang Belanda dengan penduduk pribumi. Karena sebagian besar orang Tionghoa bersikap kooperatif dengan Belanda, hal ini menimbulkan sikap sinis dari orang Sunda. Setelah komunisme di Indonesia hancur, hubungan Tionghoa-Sunda sedikit demi sedikit mulai dibangun kembali. Hasilnya dapat disaksikan saat ini, salah satunya dengan pembauran budaya Tionghoa dengan budaya Sunda. Juga dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, kini warga keturunan Tionghoa dapat hidup berdampingan dalam suasana aman dan damai dengan urang Sunda. Menurut pengamatan Drs. Soeria Disastra saat ini jumlah warga keturunan Tionghoa mncapai 10 hingga 15 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Jumlah tersebut merupakan yang terbesar setelah jumlah suku Jawa dan Sunda. Sedangkan di Bandung jumlahnya kurang lebih sepersepuluh dari jumlah penduduk Bandung. Dengan jumlah populasi yang cukup banyak dan tersebar di seluruh Indonesia, terbentuklah beberapa komunitas diantara mereka. Di Bandung sendiri terdapat komunitas Tionghoa pecinta Sunda yang mendirikan lembaga-lembaga kebudayaan. Tidak hanya pendiri bahkan pengurus dan anggota seluruhnya warga keturunan Tionghoa. Misalnya saja Lembaga Kebudayaan Mekar Parahyangan, Pasundan Asih dan Komunitas Sastra Tionghoa Indonesia. Lembaga-lembaga tersebut biasanya melakukan kegiatan bersama dengan lembaga kebudayaan Sunda lain dengan tujuan agar kebudayaan Sunda dan Tionghoa bisa bersatu. Salah satu kegiatannya, misalnya dalam perayaan 17 Agusutus-an, mereka bersama-sama mengadakan acara pembacaan sajak Sunda atau lomba menulis cerpen Sunda. Selain itu lembaga-lembaga tersebut juga acapkali mengadakan acara kesenian Sunda seperti Jaipongan dan gamelan Sunda. Jadi lembaga-lembaga ini juga turut memberikan sumbangsih dalam mengembangkan kebudayaan lokal (Sunda), selain juga untuk mengembangkan kebudayaan Tionghoa sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar